Gengsi Kelelaki-lakian
Cuaca akhir-akhir ini benar-benar tidak medukung program liburan anak-anak kuliahan. Bayangkan saja, hujan setiap hari. Bahkan kalo diprosentase, per hari 24 jam, 18 jamnya kita hidup tanpa sinar matahari yang maksimal. Tak terkecuali siang itu, saat liburanku yang indah di pandaan tersentuh guntur dan hujan lebat. Tak ingin merugi, tak ingin kalah dengan cuaca, aku mencoba menyesuaikan agenda liburanku dengan suasana hujan.
Keluar rumah, aku berlari-lari mandi hujan. Kegiatan yang lama sekali tidak pernah kulakukan lagi sejak masa-masa SMP. Karena kedinginan, spontan aku berlari-lari keliling kompleks perumahan. Dengan gerakan-gerakan yang lebih menyerupai tarian daripada sebuah olahraga, aku sampai di sebuah lapangan dimana banyak anak-anak muda bermain sepak bola.
Berniat Cuma sekedar lewat. Asal tau saja, porsi bermain sepak bola sekali seminggu selama SMA sudah lebih dari cukup untukku. Kupandangi saja mereka bermain bola, sambil dalam hati aku tersenyum, membayangkan aku ada di antara mereka mengejar-ngejar bola dengan semangat. Membayangkannya saja sudah ingin membuatku tertawa. Tidak mungkin aku bermain bola. Males.
Namun tiba-tiba,
“Mas, ikut maen bola yok? Pemainnya kurang satu neh…” kata anak yang memakai celana kuning. Kira-kira anak usia sekolah SMA.
Wew,, kalo menolak ajakan mereka, gengsi kelelaki-lakianku menolak. Jika menerima, ku takut terlihat canggung memainkan kulit bundar itu di kakiku. Setelah menimbang-nimbang, tak apalah ku ikut main bola. Toh itung-itung olahraga.
Otomatis Ironis.
Aku yang tak pernah memasukkan olahraga dalam kategori bersenang-senang ternyata malah bermain dengan sangat bersemangat. Tak ketinggalan teriakan-teriakan penambah semangat. Untung saja hujan deras dan petir menggelegar. Sehingga teriakan-teriakanku tak terdengar terlalu jelas.
Usai bermain sepakbola, aku meneruskan berjalan-jalan keliling perumahan. Tampak olehku beberapa kuli bangunan sedang duduk-duduk sambil menyalakan rokok. Memang, di sekitar perumahan ini masih banyak rumah-rumah yang sedang dalam tahap pembangunan. Sekedar melirik, diartikan sebuah tanda keramahan bagi para kuli bangunan tersebut.
“Monggo mas, mampir, ngiyup, sekalian ngopi karo rokok’an enak mas”
(Mari mas, silakan mampir. Sekalian berteduh, bisa merokok dan minum kopi)
Gengsi kelelaki-lakianku berbicara. Bukankah merokok dan minum kopi adalah aktivitas yang sangat laki-laki?
Aku pun mampir. Sambil berteduh, kami pun mengobrol panjang lebar. Tentang apapun. Ikut merokok bersama mereka aku batalkan, setelah melihat merk rokok yang mereka pakai. Dji Sam Soe. Ampun, aku tak kuat. Jika hanya sekedar rokok mild, aku mampu. Tapi, Dji Sam Soe? Kupikir hanya paru-paru sekelas kuli yang mampu menghirupnya. Dengan tidak bermaksud menjelek-jelekkan siapapun disini, red.
Sambil minum kopi, aku mulai mengenal beberapa di antara mereka. Yang perawakannya pendek, tegap, dan tutur katanya sopan, Bambang namanya. Berasal dari purwokerto Jawa Tengah. Meskipun umurnya masih 21 tahun, namun dia telah beristri dan tengah menimang buah hati berumur 8 bulan. Kalau lelaki tinggi, berkulit coklat dan bercelana jins, Hari namanya. Umurnya 20 tahun, dan sangat pemalu. Sering digoda teman-temannya tentang lawan jenis. Yang paling menarik perhatian, Wahyu. Mengenakan kaos panitia konser MATTA Band yang disponsori perusahaan rokok, celana pendek kumal, berusia paling tua, 30 tahunan. Entah kaos itu pemberian siapa, yang jelas menurut penilaianku tak mungkin wahyu adalah salah satu anggota EO konser. Dia terlalu kaku untuk itu.
Dari pembicaraan kami, wahyu adalah seorang kepala keluarga yang cukup bertanggungjawab. Walaupun hanya seorang tukang bangunan, namun dia memiliki keinginan besar untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Dia memiliki seorang anak perempuan, yang sedang sekolah di SMP kelas dua. Maharani namanya. Dengan nada bangga, wahyu menceritakan bahwa putrinya adalah seorang anak yang dapat dibanggakan. Bersekolah di sekolah negeri favorit dan sangat patuh pada orang tua. Saat ini saja, Maharani sedang mengikuti sebuah lomba mata pelajaran di Surabaya mewakili sekolahnya. Aku pun tersenyum, turut senang melihat putrid kuli bangunan itu bisa membanggakan orang tuanya sedemikian rupa.
Hal itu pula lah yang menyebabkan wahyu mengusahakan seberapa mahal pun biaya pendidikan Maharani anaknya. Bahkan untuk biaya transport lomba ke Surabaya sejumlah 200.000 rupiah tetap dia usahakan demi perkembangan pendidikan putrinya.
Salut.
Otomatis ironis.
Aku langsung termotivasi. Jika putrid seorang tukang bangunan saja bisa demikian membanggakan orang tuanya, apakah seorang Mirza Affandy tidak bisa? Oke, lihat saja nanti, bisikku dalam hati dengan optimis.
*****
Esoknya, karena banjir di pasuruan yang sangat parah, kereta menuju probolinggo tidak beroperasi. Jalanan di pasuruan macet, sehingga jarak yang biasanya ditempuh sekitar satu setengah jam bisa molor hingga 10 jam. Padahal hari ini aku berencana pulang ke probolinggo. Tak cukup itu kesialanku, karena takut terjebak macet, akhirnya kakakku yang semula bersedia mengantar ke probolinggo, mengurungkan niatnya.
Umph…
Oke. Aku sudah berniat pulang hari ini. Apapun yang terjadi, aku harus pulang hari ini juga. Dari perempatan pandaan, aku naek angkot menuju pertigaan purwosari untuk kemudian meneruskan perjalanan ke probolinggo dengan bus.
Di dalam angkot, ada gerombolan siswi-siswi yang duduk di kursi belakang terus bersenda gurau. Suara-suaranya centil. Mengisyaratkan mereka meminta perhatian seluruh penumpang angkot untuk sekedar menyapu pandangan padanya. Anak-anak sekarang. Masih muda mereka. Mengenakan seragam SMP.
Naluri kelelaki-lakianku memaksa untuk melirik mereka. Cukup menarik untuk ukuran daerah. Segera kualihkan pandangan sebelum kepergok melihat mereka. Namun, telingaku kupasang baik-baik, untuk mendengarkan apa saja yang cewek-cewek bicarakan di dalam angkot.
Topik pertama, mereka membicarakan seorang guru yang menyebalkan karena membuat mereka malu dengan memergoki contekan yang mereka buat. Topik kedua mengenai permusuhan mereka dengan geng cewek kelas tiga, yang semakin hari semakin sok, menurut mereka. Topik demi topic terus mereka bicarakan. Hingga berganti topic yang cukup menarik perhatianku. Sebenarnya mereka bercerita dengan bahasa jawa, namun kutulis dalam bahasa Indonesia, agar mudah dipahami.
“Eh,gimana sih, caranya sampai kamu bisa dapet duit segitu banyak dari orang tuamu?”
“Pinter-pinter pake akal dong. Aku bilang saja ada iuran membeli buku, iuran untuk pembangunan, atau apa lah. Pinter-pinter kita aja”
“Emang gag ketauan? Orang tuamu gag minta surat bukti gitu?”
“Minta sih. Tapi aku bilang gag ada. Kalo gag percaya, datang aja ke sekolah, Tanya langsung ke pak Guru. Emang bayarnya segitu kok. Hehehe”
“Waaa, kamu hebat banget yagh….. Berani sekali”
Hah? Mempedaya orang tua dibilang hebat? Oke, aku mungkin bukan orang yang paling suci sedunia. Tapi aku sedih mendengar obrolan mereka. Sumpah. Penasaran, kulirik cewek yang sedang bercerita dengan bangga tentang tipuannya.
Cukup cantik, kulitnya kuning kecoklatan, rambut berombak. Kulihat badge sekolahnya, tertera nama sekolah SMP negeri yang favorit di daerah pandaan. Kulirik label nama di dadanya. Maharani Kartika W.
“Makanya, sekarang kalian kutraktir jalan-jalan ke Malang. Kita nginep di rumah cowokmu jadi kan Ren? Aku dapet duit 200.000 dari ortuku. Hwhehehe”
Otomatis Ironis.
Aku hampir menangis.
Pandaan,
Jum’at 01 Februari 2008
Jumat, 08 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar